SEJARAH
Orang
Asmat percaya bahwa mereka berasal dari Sang Pencipta (Fumeripits). Pada suatu masa Fumeripits
terdampar di pantai dalam keadaan sekarat dan tidak sadarkan diri. Namun
nyawanya diselamatkan oleh sekelompok burung dan kemudian dia hidup sendirian
di suatu daerah baru. Karena kesepian ia membangun sebuah rumah panjang yang
diisinya dengan patung-patung kayu yang diukir. Ia pun membuat tifa yang
ditabuhnya setiap hari. Tiba-tiba saja patung-patung tadi bergerak mengikuti
irama suara tifa dan yang lebih ajaib lagi, patung-patung tersebut berubah
menjadi manusia. Akhirnya Fumeripits pergi mengembara dan di setiap
daerah yang disinggahinya dibangun rumah panjang serta dibuat patung-patung. Dengan demikian tercipta manusia-manusia baru yang sekarang dikenal
sebagai orang Asmat. Selain itu, sebagian orang meyakini konon Asmat berasal
dari sebutan asmat-ow yang berarti "kami manusia sejati" atau
as-asmat, yakni "kami manusia pohon". Pohon merupakan benda yang amat luhur dalam
pandangan mereka, pohon adalah manusia dan manusia adalah pohon. Akar pohon
adalah kaki manusia, batangnya adalah tubuh manusia, dahan-dahannya adalah
tangan manusia, daunnya adalah kepala manusia. Keadaan lingkungan yang ganas,
berawa-rawa dan berlumpur menyebabkan pohon dan kayu menjadi penting bagi
kehidupan mereka.
IDENTIFIKASI LOKASI
Suku
Asmat adalah salah satu dari ratusan suku bangsa di Propinsi Irian Jaya. Suku bangsa Asmat berdiam di pesisir barat daya Irian Jaya. Lebih
kurang 50.000 orang Asmat mendiami wilayah administratif Kabupaten Merauke,
yang sekarang terbagi atas empat kecamatan, yakni Sarwa-Erma, Agats, Ats, dan
Pantai Kasuari. Daerah Asmat luasnya 26.275 km2 merupakan daerah landai yang
dialiri oleh tidak kurang dari 10 sungai besar dan ratusan anak sungai.
Sungai-sungai besar itu dapat dilayari kapal dengan bobot 1.000-2.000 ton
sampai sejauh 50 kilometer ke hulu. Sejauh 20 kilometer ke hulu air sungai-sungai itu masih terasa payau. Orang
Asmat berdiam dilingkungan alam terpencil dan ganas dengan rawa-rawa berlumpur
yang ditumbuhi pohon bakau, nipah, sagu, dan tumbuhan rawa lainnya. Perbedaan
pasang dan surut mencapai 4-5 meter sehingga dapat dimanfaatkan untuk berlayar
dari satu tempat ke tempat lain. Pada waktu pasang surut orang bureau ke arah
hilir atau pantai, dan kembali ke hulu ketika pasang sedang naik.
BAHASA
Bahasa orang asmat termasuk ke dalam
bahasa yang dikelompokkan oleh para ahli liguistik disebtt Languanges of the
Sourth Division yang berbeda antara orang asmat hilir dengan orang asmat
pantai.
MATA PENCAHARIAN
Makanan pokok orang Asmat adalah sagu, serta masakan
tambahannya adalah ubi-ubian dan berbagai jenis dedaunan. Dimana sagu
diibaratkan sebagai wanita, kehidupan yang keluar dari pohon sagu sebagaimana kehidupan
keluar dari rahim ibu. Selain itu, mereka juga makan bermacam-macam binatang,
seperti ulat sagu, tikus hutan, kuskus, babi hutan, burung, telur ayam hutan,
dan ikan. Untuk mendapatkan sagu,
kaum pria hanya bertugas menebang dan membelah batangnya. Sedangkan pekerjaan menumbuk sampai
mengolah sagu dilakukan oleh kaum wanita. Secara umum, pencarian bahan makanan
termasuk menjaring ikan di laut atau sungai dilakukan oleh kaum wanita, sedang
kaum pria selalu sibuk dengan kegiatan perang antar klen atau antar kampung.
Kegiatan pria lebih berpusat di rumah bujang, dimana kaum pria beranggapan
bahwa berperang, berburu dan melindungi keluarga lebih terhormat dari mengolah
sagu dan menangkap ikan.
SISTEM KEPERCAYAAN
Sesuai
dengan kepercayaan, orang Asmat tidak menguburkan mayat. Mayat itu biasanya
hanya diletakkan di atas para, yang telah disediakan di luar kampung dan
dibiarkan sampai busuk. Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan dan disimpan di
atas pokok-pokok kayu. Mereka percaya bahwa roh orang yang telah meninggal (bi)
masih tetap berada dalam kampung, terutama kalau orang itu diwujudkan dalam
bentuk patung mbis, yaitu patung kayu yang tingginya 5-8 meter. Mereka percaya ada kekuatan
gaib yang melebihi batas kemampuan manusia. Kekuatan gaib itu mempunyai kuasa
untuk mencipta, menghidupkan, membahagiakan, dan mematikan. Sumber kekuatan itu
adalah roh leluhur. Orang yang baru meninggal buat sementara hidup dalam tubuh
binatang pemakan buah-buahan, binatang malam, atau binatang berbulu hitam.
Selain itu, baru tahun 1952 terdapat gereja dengan ajaran agama katolik. Gereja
itu sendiri mengembangkan ajaran agama melalui pendekatan budaya.
POLA PERKAMPUNGAN
Perkampungan
orang Asmat yang jumlahnya tidak kurang dari 120 buah tersebar dengan jarak
yang saling berjauhan. Kampung mereka didirikan dengan pola memanjang di
tepi-tepi sungai dan dibangun sedemikian rupa sehingga mudah mengamati musuh.
Paling tidak ada tiga kategori kampung bila dilihat dari jumlah warganya,
yaitu:
1. Kampung besar, yang umumnya terletak di
bagian tengah dan dihuni oleh sekitar 500-1000 jiwa,
2. Kampung di daerah pantai, rata-rata dihuni
oleh sekitar 100-500 jiwa,
3. Kampung bagian hulu sungai, rata-rata
dihuni oleh 50-90 jiwa.
Dalam
tradisinya, dalam sebuah kampung terdapat dua macam bangunan, yaitu:
1.
Rumah bujang (yeu), ditempati
oleh pemuda-pemuda yang belum kawin dan tidak boleh dimasuki oleh wanita dan
anak-anak. Rumah ini terdiri atas satu
ruangan dibangun di atas tiang-tiang kayu dengan panjang 30-60 meter dan lebar
sekitar 10 meter. bias Anya di dalam rumah ini dilaksanakan berbagai upacara
adat, karena bangunan ini mempunyai arti religius yang penting dan merupakan
pusat kehidupan kampung. Dalam rumah ini diselenggarakan segala macam
permusyawaratan untuk merencanakan suatu pesta, peperangan, atau perdamaian.
Selain itu, pada waktu senggang di rumah ini orang menceritakan dongeng-dongeng
suci para leluhur dan kisah Kahayan dalam peperangan, membuat dan mengukir
perisai, tombak, panah, dan lainnya. Setiap klen punya rumah bujang sendiri, oleh
karena itu banyaknya rumah bujang dalam satu kampung menunjukkan jumlah klen
yang ada.
2. Rumah keluarga, biasanya didiami oleh satu keluarga inti yang
terdiri atas seorang ayah, seorang atau beberapa orang istri dan anak-anak
mereka. Dimana setiap istri punya
dapur, pintu dan tangga sendiri.
SISTEM
KEKERABATAN
Orang Asmat yang mengenal klen itu
mengatur perkawinan berdasarkan adat eksogami klen. Garis
keturunan ditarik secara patrilinear, dengan adat menetap sesudah nikah yang
virilokal. Adanya perkawinan
poligami pada orang Asmat antara lain disebabkan karena adanya kawin levirat.
Perkawinan seorang anak biasanya diatur oleh orang tua kedua belah pihak, tanpa
diketahui sang anak. Seorang anak Asmat bisanya patuh kepada pilihan dan
kehendak orang tuanya dalam hal pemilihan jodoh. Meskipun mereka sepasang
remaja biasa berpacaran, tetapi mereka tidak harus kawin karena tidak sesuai
dengan pilihan orang tuanya tadi. Namun kelak, mereka mungkin akan kawin lagi
dengan pilihannya sendiri. Dalam kaitannya dengan pemilihan jodoh budaya Asmat
ini juga mengenal adat kawin lari, artinya seorang laki-laki melarikan gadis
yang disenanginya. Namun kawin lari itu seringkali berakhir dengan pertikaian
atau pembunuhan.
Selain itu, orang Asmat juga banyak yang
melakukan poligami. Ada yang menduga poligami terjadi karena kaum prianya
memiliki daya seks yang besar, buktinya ada yang memiliki hingga sembilan orang
istri. Ada juga yang mengatakan, istrinya mendukung suami untuk kawin lagi agar
beban kerja istri tersebut menjadi ringan karena berbagi dengan istri-istri
lainnya. Meskipun begitu, keadaan keluarga seperti ini selalu rukun dan
sesekali berada dalam keadaan tidak harmonis.
PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
Pengetahuan suku Asmat ini bisa dilihat dari bagaimana
mereka berburu serta membuat tiang-tiang guna upaca kepercayaan, meskipun dari
segi pendidikan formal mereka masih sangat rendah. Pendidikan formal seringkali
masih menghadapi kelangkaan guru yang memang tidak banyak orang yang bersedia
mengabdi di daerah semacam itu. Selain itu, pada mulanya pematung, pengukir
Asmat berkarya dengan alat-alat sederhana seperti kapak batu, kerang, tulang
kasuari gigi binatang, dan beberapa waktu terakhir mereka sudah menggunakan
kapak, pahat, dan pisau.
KESENIAN
Kesenian yang terdapat dalam budaya orang Asmat terwujud
dalam benda-benda budaya berupa seni patung dan seni ukirnya. Karya-karya seni
itu kiranya tidak lepas dari sistem kepercayaan kepada roh-roh orang yang telah
mati ataupun roh leluhur. Karena kepercayaan itu maka roh orang yang baru
meninggal hidup dalam tubuh binatang tersebut kembali diabadikan dalam ukiran
dengan motif binatang. Itulah sebabnya mereka membuat ukiran kelelawar (tar-wow),
burung kakak tua hitam (utirep-wow), kuskus (fast-wow), belalang
sembah (wewnet-wow), patuk burung rangkong (irmbi-wow), dan
lainnya.
Motif-motif hiasan pada karya seni Asmat cukup banyak
ragman. Setiap ragam hias bukan sekedar ekspresi seni, akan tetapi lebih
merupakan spirit bagi kehidupan mereka. Ukiran itu merupakan simbol yang mengandung
harapan dan bahkan nilai-nilai untuk hidup bekerja keras, berani menghadapi
hidup yang keras, harapan akan datangnya berkah dari leluhur, kemenangan dalam
perang, rasa hormat pada wanita, mendapat keselamatanmemperoleh kemakmuran dan
kesejahteraan, penuntun bagi arwah orang yang telah meninggal, dan lainnya.
Motif-motif ukiran (wow) dikenal dengan nama-nama seperti anokos-wow,
afulyak-wow, asufa-wow, ban-wow, bei-wow, betenokos-wow, bu-wow, bubakmakos-wow,
dan lainnya.
Dalam setiap tahap pengerjaan patung, mulai dari
berangkat ke hutan, mencari kayu, sampai selesainya patung, dilalui dengan
tindakan religius. Pada masa lalu, patung yang sudah selesai dikerjakan harus
dressmaking dengan upacara yang disertai tindakan pengayauan kepala musuh.
Dalam rangka upacara mbis (mbis pokumbi) seluruh penduduk kampung harus
menyiapkan makanan untuk beebread hari karena selama upacara tidak ada yang
pergi ke hutan. Lamanya upacara bisanya berlangsung selama berhari-hari,
berminggu-minggu, pria dan wanita, tua dan muda, semua harus ikut menari di
depan rumah ye. Para wanita biasanya menari pada siang sampai sore hari,
sementara pria memukul tifa. Pada malam hari sampai pagi hari giliran kaum pria
menari. Tari-tarian itu tampak sangat erotis dan dinamis. Pada saat seperti itu
diberlakukan tindakan papis antara mereka yang mempunyai hubungan papis,
artinya dua orang sahabat saling bertukar istri untuk malam-malam yang telah
ditentukan. Tindakan papis bermaksud untuk mempererat hubungan
persahabatan yang sangat diperlukan pada saat tertentu, misalnya dalam
peperangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar